Mohammed Hussein Tantawi kini menjadi orang paling menentukan di Mesir. Menteri Pertahanan ini adalah salah satu jenderal dari beberapa jenderal yang mendesak Presiden Hosni Mubarak mundur. Kini ia memimpin Dewan Tertinggi Militer Mesir, sebuah dewan yang mengambil alih kekuasaan Mubarak.
Bagi Amerika, marsekal berusia 75 tahun ini adalah pemimpin militer yang pro Barat. Mantan Menteri Pertahanan AS William Cohen mengatakan ia pernah bekerja sama dengan Tantawi di Pentagon. Ia telah menduduki panglima angkatan bersenjata dan sekaligus menteri pertahanan sejak 1991. “Pertanyaanya adalah apakah ia akan terus menjadi kepala militer atau akan meneruskan ke generasi muda?” tanya Cohen.
Tapi bagi koleganya di angkatan bersenjata Mesir, seperti disebut situs pembocor Wikileaks, ia tak lebih dari “pudel Mubarak”. Tentara yang pernah terlibat dalam perang melawan Israel ini memegang seluruh bisnis militer Mesir dan menunjuk perusahaan-perusahaan milik keluarga Mubarak sebagai rekanan mereka.
Dalam salah satu kabel kedutaan besar Amerika yang dibocorkan Wikileaks, ia digambarkan sebagai tentara produk perjanjian Camp David yang beku. Ia disebut tak nyaman dengan kehadiran generasi militer baru Mesir yang lebih gesit menangani perang melawan teror pasca 11 September. “Ia tampak seperti seorang birokrat,” kata seorang kolega Tantawi yang tak disebut namanya.
Para perwira itu juga mengatakan bahwa loyalitas kepada Mubarak tak tergoyahkan. Ia, misalnya, selalu mendukung sentralisasi kekuasaan di Mesir dan tak toleran terhadap kebebasan intelektual. “Tantawi telah menentang reformasi ekonomi dan politik yang dia anggap menggerogoti daya pemerintah pusat,” begitu bunyi salah satu kabel.
Wikileaks juga mengungkapkan Tantawi ingin menggunakan militer untuk mengendalikan kelompok-kelompok politik seperti Ikhwanul Muslimin dan menentang reformasi ekonomi karena mengurangi kontrol pemerintah Mesir atas harga dan produksi.
Tapi sosok yang disebut sebagai “hanya berfokus pada stabilitas rezim dan mempertahankan status quo” inilah kini yang akan menentukan masa depan Mesir. Apakah ia dan para jenderal lain berani membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu dipercepat yang adil seperti tuntutan demonstran atau justru memilih terus mengulur waktu untuk mencari celah bagi berkuasanya kembali orang-orang Mubarak? (tempointeraktif.com, 12/2/2011)
Bagi Amerika, marsekal berusia 75 tahun ini adalah pemimpin militer yang pro Barat. Mantan Menteri Pertahanan AS William Cohen mengatakan ia pernah bekerja sama dengan Tantawi di Pentagon. Ia telah menduduki panglima angkatan bersenjata dan sekaligus menteri pertahanan sejak 1991. “Pertanyaanya adalah apakah ia akan terus menjadi kepala militer atau akan meneruskan ke generasi muda?” tanya Cohen.
Tapi bagi koleganya di angkatan bersenjata Mesir, seperti disebut situs pembocor Wikileaks, ia tak lebih dari “pudel Mubarak”. Tentara yang pernah terlibat dalam perang melawan Israel ini memegang seluruh bisnis militer Mesir dan menunjuk perusahaan-perusahaan milik keluarga Mubarak sebagai rekanan mereka.
Dalam salah satu kabel kedutaan besar Amerika yang dibocorkan Wikileaks, ia digambarkan sebagai tentara produk perjanjian Camp David yang beku. Ia disebut tak nyaman dengan kehadiran generasi militer baru Mesir yang lebih gesit menangani perang melawan teror pasca 11 September. “Ia tampak seperti seorang birokrat,” kata seorang kolega Tantawi yang tak disebut namanya.
Para perwira itu juga mengatakan bahwa loyalitas kepada Mubarak tak tergoyahkan. Ia, misalnya, selalu mendukung sentralisasi kekuasaan di Mesir dan tak toleran terhadap kebebasan intelektual. “Tantawi telah menentang reformasi ekonomi dan politik yang dia anggap menggerogoti daya pemerintah pusat,” begitu bunyi salah satu kabel.
Wikileaks juga mengungkapkan Tantawi ingin menggunakan militer untuk mengendalikan kelompok-kelompok politik seperti Ikhwanul Muslimin dan menentang reformasi ekonomi karena mengurangi kontrol pemerintah Mesir atas harga dan produksi.
Tapi sosok yang disebut sebagai “hanya berfokus pada stabilitas rezim dan mempertahankan status quo” inilah kini yang akan menentukan masa depan Mesir. Apakah ia dan para jenderal lain berani membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu dipercepat yang adil seperti tuntutan demonstran atau justru memilih terus mengulur waktu untuk mencari celah bagi berkuasanya kembali orang-orang Mubarak? (tempointeraktif.com, 12/2/2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar