Selasa, 29 November 2011

Fakta Politik Iran

Kantor Media Hizbut Tahrir
Wilayah Lebanon
No          : H.T.L 42/32
Senin, 22 Ramadhan 1432 H/22 Agustus 2011
Duta besar Iran di Lebanon, Dr. Ghadhanfar Roknabadi, meminta untuk bertemu dengan pemimpin “Hizbut Tahrir wilayah Lebanon”. Sesuai permintaan itu, maka ketua Komite Eksekutif Dr. Muhammad Jabir,direktur Kantor Media Pusat, Ir. Utsman Bakhasy, ketua Kantor Media di Lebanon, Ahmad al-Qashash, dan anggota Lajnah Kontak Pusat, Ir. Shalih Salam, menemuinya.


Selama pertemuan terjadi pembicaraan tentang berbagai situasi politik secara umum dan insiden-insiden Suria secara khusus. Dr. Jabir menyerahkan kepada yang mulia duta besar sebuah surat di dalamnya menjelaskan sikap Hizb tentang politik Iran secara umum dan sikapnya tentang perlawanan Suria secara khusus. Berikut isi-isi penting di surat tersebut:
Apakah republik Iran menerapkan pemikiran Islam yang tegak di atas akidah Islam yang terinternalisasi dalam hukum-hukum syara’ tanpa yang lainnya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut mengharuskan untuk merinci politik Republik Iran dalam dua aspek: dalam politik dalam negeri dan politik luar negeri.

Monitoring terhadap fakta sistem Iran dan politik dalam negerinya:

Dari monitoring politik pendidikan, kebudayaan dan media Iran, maka orang yang memonitornya menghasilkan kesimpulan yang jelas: yaitu bahwa berbagai politik ini tidak lain tegak di atas kecenderungan nasionalisme Persia yang jelas. Dan bahwa di dalam politik itu aspek-aspek Islam tidak diperhatikan, kecuali hanya “polesan kosmetik” untuk memberi label syariah Islam terhadap negara dan masyarakat di Iran. Negara dan masyarakat tidak dibangun di atas asas pemikiran Islam yang murni. Buktinya. bahwa rezim Iran terus bertindak berdasarkan pandangan nasionalisme Persia bukan berdasarkan pandangan Islami. Di mana disyaratkan presiden harus berkebangsaan Iran dan berasal dari kedua orang tua berkebangsaan Iran, serta negara hanya dijadikan untuk Iran saja dan bukan untuk umat Islam. Bahasa arab yang merupakan bahasa Islam juga tidak dijadikan sebagai bahasa resmi di republik tersebut. Sampai sekarang di Iran masih berlangsung perdebatan seputar identitas Iran dan identitas Islami dan sebagian nasionalis Iran masuk ikut campur di dalam semua itu. Terus berlangsungnya perayaan hari Raya Nuruz hanyalah contoh terus dijaganya kecenderungan nasionalisme. Dampak dari kecenderunan ini tampak jelas berupa terpicunya sektarianisme antara bangsa Persia dengan penduduk Iran dari bangsa arab, Baluch, Kurdi dan lainnya. Kecenderungan ini sendiri memiliki dampak pada politik luar negeri Republik Iran. Hal ini menuntun kita untuk membicarakan politik luar negeri Republik Iran ini.

Meneropong Politik Luar Negeri:

Yang wajib secara syar’i adalah keharusan memandang kaum muslim sebagai umat yang satu, bukan sebagai bangsa-bangsa, umat dan negara yang dipisahkan oleh batas-batas nasional yang memecah belah umat dan membentuk jaring untuk melindungi rezim-rezim yang diciptaan oleh kafir imperialis untuk melayani kepentingan penjajahan. Akan tetapi, orang yang memperhatikan fakta politik Iran yang diadopsi selama tiga dekade ini, ia akan menemukan bahwa tidak ada dari hal ini yang terjadi. Yang terjadi tidak lebih hanya slogan-slogan yang bersinar, tapi kosong tanpa isi. Ini menelanjangi tidak adanya pandangan yang menyeluruh terhadap umat Islam sebagai sebuah umat yang khas berbeda dari umat lain, diikat oleh ikatan akidah islamiyah dan konsepsi-konsepsi Islam dan syariahnya.

Politik luar negeri rezim Republik Iran menegaskan kecenderungan nasionalisme dalam pemikiran dan tindakan praktis. Politik ini tidak satu hari pun ditujukan untuk menyatukan umat Islam dalam kerangka Islam, yang mengharuskan bangunan negara Islam yang menyeluruh, secara praktis dan riil, bukan sekadar teroritis atau pun ucapan.

Republik Iran dalam hubungan-hubungannya dengan entitas-entitas yang ada di duna Islam sama sekali tidak menoleh kepada tuntutan-tuntutan syariah Islam. Kedaulatan dalam hubungan-hubungan ini bukan untuk ideologi Islam. Sebaliknya, hubungan-hubungan ini dibangun di atas asas rusak yang mengokohkan kondisi-kondisi bencana di dunia Islam yang diciptakan oleh penjajah. Rezim Iran merasa tenteram berkoalisi dengan rezim diktator Ba’ats sekuler di Suria, bukan hanya dalam konteks menghadapi Shadam Husein, akan tetapi sampai detik ini, di mana rezim Ba’ats di Suria melakukan kejahatan terhadap bangsanya, seperti kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Syah terhadap penduduk Iran pada masa lalu.

Manuver-manuver politik dan militer Iran selama ini adalah untuk menancapkan hegemoni dan pengaruh di teluk Islami. Dan perdebatan seputar apakah ini teluk Persia atau teluk Arab terus saja berlangsung pada waktu di mana Amerika meluaskan hegemoninya terhadap teluk tersebut. Selama itu pula, hal tersebut merupakan bukti latar belakang nasionalisme rasisme politik luar negeri Iran.

Di Afganistan kita temukan bahwa rezim Iran menyambut pendukan Amerika ke Afganistan dan berkoordinasi dengannya. Padahal yang wajib secara syar’i adalah keharusan menolong anak-anak umat melawan pendudukan dan berjuang untuk menghalangi pendudukan Amerika atas tanah islami mana pun.
Demikian juga di Irak. Kita dapati bahwa Iran sengaja melakukan normalisasi situasi di bawah pendudukan Amerika melalui jemaah-jamaah di negeri tersebut yang memiliki kedekatan loyalitas kepada Iran. Iran memberi instruksi kepada jamaah-jamaah itu agar berkoordinasi denganya dan berbuat dengan arahan-arahannya. Bahkan sampai pada tingkat di mana Iran bekerjasama secara resmi dalam pertemuan-pertemuan koordinatif keamanan langsung, yang disupervisi oleh agressor Amerika; dan berikutnya dilakukan kunjungan presiden Iran ke Irak di bawah pendudukan dan bertemu dengan pilar-pilar pemerintahan kaki tangan pendudukan di dalam wilayah hijau yang dikontrol sepenuhnya oleh pendudukan. Kewajiban syar’i mewajibkan untuk tidak mentolerir Amerika untuk menduduki Irak. Jika pendudukan itu terjadi secara paksa terhadap kaum Muslim, maka kewajiban syar’i mewajibkan diangkatnya panji jihad secara terang-terangan dan terbuka untuk membebaskan tanah Islami, bukannya menekan agressor untuk membagi hasil-hasil pendudukan. Kaum muslim yang menghinakan Soviet di Afganistan dan menimpakan kerugian sangat memalukan terhadap pendudukan barat hari ini; demikian juga mujahidin yang membuat hidung Yahudi tersungkur di Lebanon, mereka mampu mengusir Amerika dan salibis di belakang mereka dari Irak dan Afganistan. Akan tetapi saat tiba waktunya bagi Iran untuk mengusir Amerika, pemimpin Iran justru menyatakan bahwa seandainya tidak ada kerjasama Iran niscaya Amerika tidak bisa menduduki Afganistan?! Surat kabar Ash-Sharqul Awsath London, pada tanggal 9/2/2001, mengutip pernyataan mantan presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani ia mengatakan, “Kekuatan Iran memerangi Taleban dan berkontribusi dalam mengusirnya. Sesungguhnya seandainya kekuatan Iran tidak membantu dalam memerangi Taleban, niscaya orang-orang Amerika tenggelam di lumpur kekalahan Afganistan”. Ia menambahkan, “Amerika harus tahu bahwa seandainya bukan karena pasukan rakyat Iran, niscaya Amerika tidak mampu menjatuhkan Taleban”. Dan pada tanggal 15/1/2004 Muhammad Ali Abthahi, wakil presiden Iran untuk urusan perundang-undangan dan parlemen, berdiri dengan bangga pada penutupan konferensi teluk dan tantangan masa depan di Abu Dhabi UEA, untuk mengumumkan bahwa negerinya “memberikan banyak bantuan kepada Amerika dalam perang Amerika melawan Afganistan dan Irak”. Ia menegaskan “Seandainya tidak karena kerjasama Iran niscaya Kabul dan Baghdad tidak akan jatuh dengan begitu mudah”. Begitu juga Iran menyatakan bahwa Iran siap untuk memberikan bantuan kepada rezim Karzai (Amerika) di Kabul dengan menggelontorkan jutaan dolar?! Juru bicara luar negeri Iran Ramin Mehmanparast pada tanggal 26/10/2010, mengatakan bahwa Iran “memberikan bantuan besar untuk mempermudah stabilitas Afganistan”. Hal itu setelah presiden Afganistan mengaku menerima dana dari Iran! Iran bertemu dengan wakil presiden pertama Afganistan jenderal Muhammad Fahim pada tanggal 26/12/2010! Bukankah di dalam semua itu terdapat unsur normalisasi dengan pendudukan Amerika?! Dan kita lihat Amerika mendirikan instalasi dan pangkalan militer besar yang menjamin hegemoni dan kontrol mereka terhadap Irak dan Afganistan. Dan sekarang kita lihat Iran menutup mata terhadap persetujuan para pengikutnya dari kaki tangan Amerika di Irak atas kelangsungan pangkalan militer Amerika di Irak pasca akhir tahun 2011, menyalahi perjanjian yang telah disepakati.

Adapun tentang masalah Palestina, kewajiban syar’i mewajibkan pembebasan setiap jengkal tanah Palestina. Hal itu tidak akan terjadi dengan mendukung organisasi-organisasi bersenjata yang tidak memiliki kendali atas urusannya sedikit pun. Tidak pula dengan jalan pendeklarasian Hari Tahunan untuk al-Quds di Ramadhan setiap tahun. Bukan pula dengan jalan koalisi dengan rezim Suria yang konsern untuk tidak mengganggu Yahudi meski pun Yahudi mengangkangi dataran tinggi Golan?! Waktu selama tiga puluh tahun telah membuktikan bahwa berbagai festival dan konferensi atas nama al-Quds dan al-Aqsha tidak berguna sedikit pun. Bahkan justru memberi kesempatan kepada negara Yahudi untuk menancapkan keyahudian al-Quds, bahkan keyahudian Palestina seluruhnya. Seandainya rezim Iran sungguh-sungguh tentang slogan-slogan pembebasan al-Aqsha dan al-Quds yang diusungnya niscaya rezim Iran mengambil jalan dan sarana yang bisa secara riil mengantarkan kepada pembebasan al-Quds itu, bukan sekedar ucapan.

Sedangkan tentang sikap Iran terhadap rezim Ba’ats yang sedang berkuasa di Suria, maka sikap Iran yang berdiri di samping rezim diktator penjahat di Suria merupakan jerami yang bisa mematahkan punggung onta. Kita tidak tahu apakah ada waktu luas bagi Iran untuk membebaskan dirinya sendiri dari dilema yang menyakiti dirinya sendiri dan menodai seluruh sejarah revolusionernya. Sebab menyeruak pertanyaan berikut: Jika revolusi Iran telah bangkit melawan kezaliman dan kejahatan Syah dan itu berhak mendapat dukungan umat yang besar pada waktu itu, lalu bagaimana hari ini Iran akan menjustifikasi sikapnya yang berdiri di samping rezim Ba’ats di Suria yang sebanding dalam kejahatannya dengan apa yang dilakukan oleh Syah Iran, diantaranya membunuh hamba-hamba Allah, menumpahkan darah mereka, mematahkan tulang-tulang mereka, mencabut kuku anak-anak mereka dan mengusir keluarga mereka setelah pemutusan aliran air dan listrik dari rumah-rumah mereka, tanpa memperhatikan kehormatan bulan Ramadhan yang mulia sedikitpun … Semua itu dilakukan setelah puluhan tahun pelaksanaan sekulerisme yang menodai kesucian dan kehormatan Islam dan menyebarkan dosa dan perilaku hina?! Republik Iran dengan sikap-sikapnya hari ini berdiri di samping sang diktator anak (Bashar Asad) telah mengembalikan memori akan sikap Iran dahulu kepada sang bapak diktator (Hafezh Asad). Sebab bagaimana rezim Iran mendukung rezim Ba’ats kafir dalam perangnya terhadap warga Suria, pada waktu yang sama rezim Iran angkat suara memprotes tindakan-tindakan Sheikh Bahrain melawan orang-orang yang melakukan revolusi di Bahrain?! Bukankah di dalam hal ini terdapat pertentangan yang tampak jelas bagi setiap orang yang berakal?!

Ucapan bahwa rezim Suria adalah rezim perlawanan dan mendukung perlawanan Islam yang menyungkurkan hidung Yahudi di Lebanon, tidak bisa membenarkan untuk berdiri di samping rezim zalim tersebut melawan rakyat yang dizalimi. Terlebih lagi, fakta yang ada membuktikan bahwa slogan perlawanan yang diusung oleh rezim keluarga Asad hanyalah slogan tipuan  yang dijadikan alat untuk mengokohkan hegemoni dan kontrolnya terhadap Suria dan penduduknya. Kepala rezim ini dengan jelas mengumumkan bahwa tujuan strategisnya adalah perdamaian dengan entitas Yahudi, dan bahwa dukugan perlawanan hanyalah untuk tahapan sementara sampai perundingan bisa mencapai perdamaian itu. Dan sekarang kita lihat bahwa pemeritahan keluarga Asad menuju kematian dengan cepat, sementara rakyat Iran terus bertahan.

Kemaslahatan Iran yang hakiki adalah bersama warga Suria yang terus bertahan dan bukan bersama seseorang yang mulai jatuh.
Selama ini Iran mendeklarasikan mencegah meletusnya fitnah (pertikaian) sektarian Sunni Syiah. Akan tetapi politik Iran di Afganistan, Irak, Teluk, Lebanon dan Suria… telah melayani fitnah sektarian dan bukannya meredakannya. Sikap Iran hari ini yang berdiri di samping rezim Ba’ats di Suria, justru akan menambah krusial bahaya terjatuh dalam lumpur fitnah sektarian itu. Sikap Iran yang terus bersandar pada politik nasionalisme Persia dan membeda-bedakan revolusi Bahrain dan revolusi Suria, mendukung yang ini dan memerangi yang itu, justru akan menguatkan permusuhan. Sungguh itu merupakan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan oleh sejarah.

Inilah sejumlah masalah yang kami nilai mendasar untuk dibahas lebih rinci. Kami tidak perlu mengingatkan bahwa Hizbut Tahrir hanyalah membangun pandangannya atas hal itu semua di atas asas Islam, pandangan yang bersih dan murni tidak tercampuri debu dan kotoran, tidak dicampuri nasionalisme, patriotisme, mazhabiyah atau sektarian. Hizb menyerukan seruannya kepada setiap orang muslim di mana saja berada.
Jika saudara-saudara di Iran memiliki niat yang tulus untuk membahas masalah-masalah ini dengan jujur dan transparan, maka kami menyambutnya. Dan mereka akan menemukan bahwa hati dan pikiran kami menyambut terbuka diskusi serius dan ditujukan untuk menolong agama ini dan meninggikan kalimat Allah. Adapun hanya berhenti pada solusi-solusi dangkal dan kosmetik formalistik seraya jauh dari politik Islam yang murni, maka tidak akan menambah bagi rezim Iran kecuali kejauhan dari kami dan seluruh umat ini.

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. (QS Yusuf [12]: 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar