Sangat menarik kategorisasi negara bangsa (nation state) yang dikutip Imam Cahyono dari Stoddar. Menurutnya, ada 4 (empat) kategori negara-bangsa: kuat; lemah (weakstate); gagal (failedstate); dan runtuh (collapsedstate). Negara lemah merupakan calon potensial kegagalan negara. Adapun negara gagal atau hancur merupakan tahap akhir dari kegagalan negara. Sebuah negara gagal apabila gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik. Bagaimana sindrom negara yang gagal itu antara lain bisa dilihat dari beberapa indikator sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom negara gagal antara lain: keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, pemerintah tidak berdaya dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan rawan terhadap tekanan luar negeri. (Kompas, 9/6/2005). Sementara itu, menurut Noam Chomsky (2006) dalam Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy, setidaknya ada dua karakter utama atau dua kategori yang membuat negara tertentu dapat disebut sebagai negara gagal. Pertama, negara yang tidak memiliki kemauan atau kemampuan melindungi warga negara dari berbagai bentuk kekerasan, dan bahkan kehancuran. Negara tersebut tidak dapat menjamin hak-hak warga negaranya, baik di tanah air sendiri maupun di luar negeri.
Merujuk pada sindrom tersebut dan keterpurukan yang dihadapi Indonesia, kita perlu bertanya di awal tahun 2011 ini: Apakah betul Republik ini sedang mengarah kepada negara gagal? Jika mengacu pada indikator diatas maka dengan tegas kita mengatakan bahwa semuanya sudah terpenuhi. Disekitar kita atau lewat media massa kita bisa menyaksikan ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi keamanan rakyatnya. Orang demikian gampang untuk di ancam, dianiaya, diperkosa bahkan TKI diluar negeri mengalami nasib yang sangat mengerikan dan banyak yang kembali dalam keadaan cacat seumur hidup, bibir digunting oleh majikan dan bahkan banyak yang kembali dalam keadaan terbungkus kain kafan alias mati dibunuh oleh majikan atau bunuh diri karena tidak tahan menghadapi siksaan dari majikan, singkatnya dalam hal keamanan negara gagal melindungi rakyatnya.
Demikian juga Konflik etnis dan agama pun tidak jarang memakan korban yang cukup besar seperti dalam kasus Sampang, Poso, Ambon, Papua, Kasus ciketing, dll. Meskipun demikian, sering akar sesungguhnya dari konflik itu adalah ketidakadilan, ketidakpastian hukum, ketidaksejahteraan rakyat; atau konflik sengaja diciptakan untuk kepentingan politik lokal maupun asing.
Legitimasi negara pun semakin terkikis, rakyat sudah tidak percaya lagi kepada otoritas yang menjadi pengurus kepentingan mereka. Dibakarnya pencuri sepeda motor, maling ayam atau pencopet diadili secara massal oleh rakyat, hal ini mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat pada hukum yang seharusnya ditegakkan negara. Perusakan tempat hiburan, perjudian, dan pelacuran juga merupakan cerminan dari ketidakpercayaan rakyat pada hukum dan aparat. Lihat pula gejala apatisme massal terhadap para calon dalam Pilkada yang disuarakan masyarakat, "Siapapun calonnya sama saja, saya tetap saja miskin!"
Selanjutnya bagaimana kabarnya Gayus? Sebagaimana diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta kepada Gayus. Vonis ini jauh dibanding tuntutan jaksa yakni 20 tahun bui dan denda Rp500 juta. Sangat banyak kejanggalan yang terjadi dalam pengungkapan skandal mafia pajak dengan tersangka pegawai pajak Gayus HP Tambunan. Kejanggalan ini baik dari segi kasus hingga para penegak hukum. Gayus hanya dijerat pada kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570.952.000, dan bukan pada kasus utamanya, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar, sesuai dengan yang didakwakan pada Dakwaan Perkara Pidana Nomor 1195/Pid/B/2010/PN.JKT.Sel. Pemilihan kasus PT SAT diduga merupakan skenario kepolisian dan kejaksaan untuk menghindar dari simpul besar kasus mafia pajak yang diduga menjerat para petinggi di kedua institusi tersebut. Kasus PT SAT sendiri amat jauh keterkaitannya dengan asal muasal kasus ini mencuat, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar milik Gayus," kata Donald dari ICW.
Terkait dengan korupsi, jangan diperdebatkan lagi; korupsi dilakukan secara berjamaah dan melembaga. Dengan menggunakan data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) – Hongkong dan Transfarency Internasional – Jerman, perkembangan tindakan koruptif di negeri tercinta ini maka dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dibanding dengan 16 negara Asia Pasifik lainnya. “PRESTASI” MEMALUKAN INI TELAH MENEMPATKAN INDONESIA MENJADI NEGARA NO.1 TERKORUP DI ASIA. Prestasi memalukan tersebut, bukanlah hal yang mengejutkan. Apabila Pak SBY selama ini suka mengklaim keberhasilan tindakan pemberantasan korupsi KPK seolah-olah kinerja pemerintahannya, maka kasus kriminalisasi pimpinan KPK (Bibit dan Chandra) setidaknya telah membuka kedok pemerintah bersama jajarannya dalam memberantas korupsi. Dari data Kementerian Dalam Negeri, saat ini ada 148 kepala daerah sudah divonis bersalah menilap uang negara, menjadi terdakwa, tersangka, atau baru diperiksa sebagai saksi. Bahkan menurut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyak sekali modus korupsi di daerah, dari mark up pengadaan barang hingga penggunaan fasilitas untuk kepentingan pribadi. Dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester I-2010 yang dilaporkan Ketua BPK Hadi Poernomo kepada DPR, Selasa, 12 Oktober 2010, TOTAL TEMUAN MENCAPAI 10.113 KASUS DENGAN POTENSI KERUGIAN RP26,12 TRILIUN SECARA NASIONAL. KHUSUS UNTUK POTENSI KERUGIAN DI DAERAH MENCAPAI RP2 TRILIUN. (http://fokus.vivanews.com, 3/10/2010). Sehingga tidak mengherankan, bila ada yang memprediksi ketika korupsi diberantas secara tuntas, maka negeri ini bisa collaps alias bubar, sebab semua subsistem terindikasi terlibat korupsi.
Indikator lain yang bisa di jadikan parameter adalah ketidakmampuan pmerintah dalam menghambat laju invasi budaya asing dalam semua aspek seperti Budaya kapitalistik seperti hedonisme, pergaulan bebas, seks bebas, dan narkoba yang menyerang bagai hembusan ombak samudra yang terus menrerjang. Secara politik ekonomi, Indonesia tidak mampu berdaulat maupun berdikari untuk mampu bersikap secara mandiri. Sebagai contoh : penyerahan pengelolaan blok cepu kepada Exxon Mobile oleh Presiden SBY dan Wapres JK saat itu, padahal berkali-kali pertamina melalui direkturnya saat itu yaitu Widia Purnomo menegaskan bahwa pertamina sanggup untuk mengelola dan juga di kuatkan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia yang secara tegas mengatakan bahwa tidak ada alasan apapun untuk menghalangi Pertamina mengelola blok cepu. Akhirnya terjadi perang wacana di mana pertamina yang didukung oleh para pakar, tokoh Nasional dan sebagian anggota DPR saat itu dengan pemerintah yang didukung oleh Pemerintah AS ditandai dengan kunjungan sejumlah pejabat teras pemerintah AS seperti Condoliza Rize yang diduga kuat untuk menekan Indonesia. Yang paling menyedihkan adalah pemerintah merampas kewenangan direksi pertamina untuk melakukan lobi dengan menunjuk si “terkutuk” Rizal Malarangeng serta mengkudeta direktur Pertamina, Bapak Widia Pornomo karena kengototannya mempertahankan keputusannya untuk mengelola blok cepu. Akhirnya blok cepu diserahkan kepada EM. Belum lagi agenda War On Terrorism (WOT) yang dinahkodai oleh AS, dimana Indonesia merasa bangga menjalankan agenda tersebut yaitu sesuai dengan defenisi AS dimana siapa pun yang berjuang untuk mendirikan Negara Islam, menolak nilai-nilai barat dan menentang dominasi (Baca: Penjajahan) barat atas dunia Islam maka merekalah terkategori teroris. Demikian seriusnya, maka pemerintah membentuk Densus 88 anti terror, sandi 88 tersebut adalah penghormatan pemerintah Indonesia terhadap 88 orang warga Australia yang menjadi korban akibat BOM Bali. Jadi, Densus 88 adalah corong pemerintah AS dan Australia untuk merekayasa, menjebak, menyiksa dan mengeksekusi aktivis gerakan Islam. Inilah sesungguhnya wajah para penguasa yang anda angkat dan eluh-elukan yaitu tidak lebih dari antek murahan Amerika Serikat.
Negara juga gagal mensejahterajan rakyat sebagaimana yang telah diberitakan, Enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, meninggal dunia diduga akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon…Pengakuan orang tua korban bahwa “Setiap pekan, penghasilan saya hanya berkisar antara Rp.150 ribu hingga Rp. 200 ribu,” ujarnya. Penghasilan selama sepekan tersebut, kata dia, hanya bertahan selama tiga hingga empat hari saja.“kami hanya bisa membeli beras 10 kilogram dari biasanya bisa membeli hingga 16 kg untuk memenuhi kebutuhan delapan anggota keluarga,” Belum lagi harga cabai yang mencapai harga 100 ribu/kg sperti yang terjadi di Jakarta, Tenggarong dan Yokyakarta.. sungguh keterlaluan.
Mengapa semua terjadi? Negara telah gagal bahkan sedang berproses menuju collapsedstate. Tentunya jawabnya adalah karena Negara dibangun diatas pondasi kapitalisme sekularisme yang diatasnya dibangun pemikiran derivative dan memancarkan subsistem tentang kehidupan. Sistem inilah yang telah menyebabkan Bangsa menjadi sakit. Maka obat yang paling mujarab adalah kembali kepada Islam yaitu menerapkan Islam secara totalitas dalam kehidupan; bukan hanya Islam ritual sebatas shalat, shaum, dan haji. Untuk itu jelas kita butuh institusi untuk menerapkannya, yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Saatnyalah kita mengubah negara yang gagal ini menjadi negara yang berhasil dan diridhai Allah Swt., yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Kitalah, para pengemban dakwah, sebagai dokter yang akan menyembuhkan penyakit umat Islam ini. (Alex Saifullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar