INDONESIA bisa lolos dari terpaan krisis ekonomi global bila mampu mewaspadai kekuatan fiskalnya mengingat dalam enam tahun terakhir utang pemerintah melonjak hampir 40%.
“Utang negara ibarat bom waktu, manajemen utang harus direformasi. Utang negara yang kini mencapai Rp1.768 triliun lebih harus mampu menaikkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat,” kata anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta dalam perbincangan Today’s Highlight Special bertajuk Menakar Panas Dingin Krisis Ekonomi Global 2012 yang digelar Media Indonesia dan 103.8 FM Brava Radio di Bistro Boulevard, Jakarta, Sabtu (26/11).
Dalam kurun enam tahun, lanjut Arif, cicilan bunga utang RI yang awalnya Rp65,2 triliun bertambah dua kali. Selain itu, dalam lima tahun terakhir pembiayaan utang kian dominan dan berkontribusi rata-rata 75,1% dari total pembiayaan APBN.
“Kebanyakan untuk membayar gaji dan program yang tidak berdampak terhadap sektor riil. Bagaimana agar daya beli tumbuh, harus ada efisiensi dan realokasi APBN menuju fungsi produktif,” ujar Arif.
Atau dalam bahasa pengamat ekonomi Unika Atma Jaya Prasetyantoko, utang dapat memberikan impak kalau dipakai untuk menggerakkan ekonomi.
Lebih jauh Arif menuturkan kendati dari sisi rasio utang terhadap produk domestik bruto terbilang aman, yakni di bawah 30%, tetapi pemerintah perlu memonitor sisi likuiditas.
Juga dari sisi keseimbangan primer. Penerimaan pajak dan bukan pajak dikurangi belanja serta kewajiban membayar utang menurun 7.000%, dari Rp791 triliun pada 2005 menjadi Rp0,73 triliun pada 2011. Sementara pembayaran bunga utang dalam lima tahun terakhir naik 200%, dari Rp65,2 triliun menjadi Rp116,4 triliun.
“Dari sisi likuiditas tampak kemampuan (negara) membayar utang. Namun, data keseimbangan primer (menunjukkan) sudah dalam tahap mengkhawatirkan,” jelas Arif.
Kini, DPR dan pemerintah telah memiliki sederet skenario bila krisis global bertambah gawat, yaitu memberi diskresi kepada pemerintah jika pertumbuhan ekonomi 1% di bawah target, realisasi lifting minyak 5% di bawah asumsi, asumsi lain meleset 10% dari sasaran, dan posisi nominal dana pihak ketiga perbankan nasional anjlok drastis serta terkereknya imbal hasil dari surat berharga negara.
“Terpenting pemerintah harus menciptakan instrumen kebijakan agar lebih banyak orang bekerja dan menjaga daya beli masyarakat,” tandas Arif.
Surat utang perusahaan
Krisis ekonomi global juga dikhawatirkan memengaruhi kemampuan perbankan di AS dan Eropa untuk memperpanjang utang kepada perusahaan swasta di Indonesia.
Oleh karena itu, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengingatkan perlunya perusahaan swasta di Indonesia melakukan diversifikasi pembiayaan.
“Apakah dari perbankan dalam negeri atau menerbitkan obligasi korporasi,” ungkap Perry juga dalam talkshow Today’s Highlight Special, akhir pekan lalu.
Diversifikasi pembiayaan diperlukan untuk mengantisipasi macetnya sumber pendanaan luar negeri khususnya Eropa bila krisis ekonomi semakin berlarut.
Menurut dia, meski nilai tukar rupiah masih bergejolak, utang luar negeri swasta belum menunjukkan peningkatan signifikan. Posisi utang luar negeri swasta kuartal ketiga 2011 sekitar US$70-an miliar. Dari jumlah itu, US$21 miliar di antaranya utang dari Eropa dengan komposisi Belanda (US$15 miliar), Inggris (US$2 miliar), Jerman (US$1 miliar), dan sisanya dari negara Eropa lain. (mediaindonesia.com, 28/11/2011)
“Utang negara ibarat bom waktu, manajemen utang harus direformasi. Utang negara yang kini mencapai Rp1.768 triliun lebih harus mampu menaikkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat,” kata anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta dalam perbincangan Today’s Highlight Special bertajuk Menakar Panas Dingin Krisis Ekonomi Global 2012 yang digelar Media Indonesia dan 103.8 FM Brava Radio di Bistro Boulevard, Jakarta, Sabtu (26/11).
Dalam kurun enam tahun, lanjut Arif, cicilan bunga utang RI yang awalnya Rp65,2 triliun bertambah dua kali. Selain itu, dalam lima tahun terakhir pembiayaan utang kian dominan dan berkontribusi rata-rata 75,1% dari total pembiayaan APBN.
“Kebanyakan untuk membayar gaji dan program yang tidak berdampak terhadap sektor riil. Bagaimana agar daya beli tumbuh, harus ada efisiensi dan realokasi APBN menuju fungsi produktif,” ujar Arif.
Atau dalam bahasa pengamat ekonomi Unika Atma Jaya Prasetyantoko, utang dapat memberikan impak kalau dipakai untuk menggerakkan ekonomi.
Lebih jauh Arif menuturkan kendati dari sisi rasio utang terhadap produk domestik bruto terbilang aman, yakni di bawah 30%, tetapi pemerintah perlu memonitor sisi likuiditas.
Juga dari sisi keseimbangan primer. Penerimaan pajak dan bukan pajak dikurangi belanja serta kewajiban membayar utang menurun 7.000%, dari Rp791 triliun pada 2005 menjadi Rp0,73 triliun pada 2011. Sementara pembayaran bunga utang dalam lima tahun terakhir naik 200%, dari Rp65,2 triliun menjadi Rp116,4 triliun.
“Dari sisi likuiditas tampak kemampuan (negara) membayar utang. Namun, data keseimbangan primer (menunjukkan) sudah dalam tahap mengkhawatirkan,” jelas Arif.
Kini, DPR dan pemerintah telah memiliki sederet skenario bila krisis global bertambah gawat, yaitu memberi diskresi kepada pemerintah jika pertumbuhan ekonomi 1% di bawah target, realisasi lifting minyak 5% di bawah asumsi, asumsi lain meleset 10% dari sasaran, dan posisi nominal dana pihak ketiga perbankan nasional anjlok drastis serta terkereknya imbal hasil dari surat berharga negara.
“Terpenting pemerintah harus menciptakan instrumen kebijakan agar lebih banyak orang bekerja dan menjaga daya beli masyarakat,” tandas Arif.
Surat utang perusahaan
Krisis ekonomi global juga dikhawatirkan memengaruhi kemampuan perbankan di AS dan Eropa untuk memperpanjang utang kepada perusahaan swasta di Indonesia.
Oleh karena itu, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengingatkan perlunya perusahaan swasta di Indonesia melakukan diversifikasi pembiayaan.
“Apakah dari perbankan dalam negeri atau menerbitkan obligasi korporasi,” ungkap Perry juga dalam talkshow Today’s Highlight Special, akhir pekan lalu.
Diversifikasi pembiayaan diperlukan untuk mengantisipasi macetnya sumber pendanaan luar negeri khususnya Eropa bila krisis ekonomi semakin berlarut.
Menurut dia, meski nilai tukar rupiah masih bergejolak, utang luar negeri swasta belum menunjukkan peningkatan signifikan. Posisi utang luar negeri swasta kuartal ketiga 2011 sekitar US$70-an miliar. Dari jumlah itu, US$21 miliar di antaranya utang dari Eropa dengan komposisi Belanda (US$15 miliar), Inggris (US$2 miliar), Jerman (US$1 miliar), dan sisanya dari negara Eropa lain. (mediaindonesia.com, 28/11/2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar