Jakarta - UU Intelijen disahkan DPR Senin lalu. Namun, berbagai pasal krusial langsung mendapat kritik dari masyarakat. Dari persoalan definisi, tugas hingga ruang lingkup intelijen dan sanksi pidananya. Berikut sedikitnya tujuh kelemahan UU Intelijen yang terangkum dalam diskusi di Komisi Informasi Pusat (KIP), Jl Abdul Muis, Jakarta, Jumat (14/10/2011). Acara ini sendiri dihadiri KIP, tokoh masyarakat dan berbagai LSM yang tergabung dalam koalisi Advokasi UU Intelijen seperti Imparsial dan Elsam.
Sementara Komisi I DPR yang diundang tidak hadir tanpa alasan hingga diskusi selesai.
1. Menurut Imparsial, UU tersebut bukan merepresentasikan UU Intelijen melainkan UU Badan Intelijen Negara (BIN). Sebab, 80 hingga 90 persen isi Undang-undang mengatur badan intelijen tersebut.
“Ada delapan sampai sembilan institusi intelijen di Indonesia. Ada intelijen militer seperti teritorial, keimigrisian, bea cukai, kejaksaan, polisi. Ada intelijen dari lulusan sekolah intelijen negara, ada intelijen dari polri, ada dari militer. Tetapi yang diatur UU Intelijen, 80 sampai 90 persen menunjuk BIN,” kata Direktur Program Imparsial, Al Araf.
“Mereka melapor ke institusi masing-masing tetapi juga melapor ke BIN. Ada dualisme kepentingan yang tidak diatur dalam UU,” tandasnya.
2. Soal definisi rahasia negara yang menjadi objek utama UU Intelijen, tidak menyebutkan secara pasti apa itu rahasia negara. Pimpinan KIP, Alamsyah Saragih menyebutkan, definisi rahasia negara sangat abu-abu.
“Rahasia intelijen merupakan bagian rahasia negara. Tapi pada scoope penulisannya justru kebalik, rahasia negara merupakan rahasia intelijen. Ini rancu,” kata Alamsyah.
3. UU Intelijen menyebutkan informasi tentang kekayaan alam menjadi rahasia negara yang penting. Bila membocorkan, dapat dikenai sanksi penjara atau denda hingga Rp 500 juta. Namun, UU tersebut tidak menjabarkan lebih terang dalam penjelasan UU itu.
“Itu menyangkut kontrak pertambangan, kita tidak tahu bunyi kontraknya seperti apa. Yang tahu ya hanya pengusaha-pengusaha saja. Saat kita tahu, dikira mencuri rahasia negara dan terancam sanksi pidana,” ucap Al Araf.
“Menurut saya, informasi intelijen ada di komunitas intelijen dan beredar di kalangan intelijen. Kalau sampai publik tahu, ya salah mereka yang membuka, membocorkan. Kalau alasanya ada hacker dan sebagainya, kalau itu ya pakai KUHP saja atau UU ITE,” lanjutnya.
Seirama dengan Imparsial, pasal kerahasiaan sumber daya alam juga dikritik KIP.
“Misalnya saya ketua badan penanaman modal, mempresentasikan kekayaan alam untuk menarik investor di luar negeri, pulang-pulang bisa tidak ke kantor tetapi ke Rutan Cipinang. Karena dianggap membocorkan rahasia negara,” timpal Alamsyah.
4. UU Intelijen menyatakan masalah pertahanan dan keamanan merupakan rahasia negara tanpa menyebutkan apa-apa saja yang dilindungi kerahasiaanya. Menurut Imparsial, pasal tersebut sangat luas mulai seperti kebijakan dan anggaran.
“Kalau masalah rencana operasi intelijen, strategi, mekanisme dan taktik, itu di mana-mana memang rahasia. Tapi bagaimana dengan anggaran pertahanan kita? Apakah itu rahasia? Susah dong kalau anggaran pertahanan kalau tertutup. Kasus pengadaan. alutista, beberapa menjadi kasus korupsi. Dengan UU ini jadi semakin sangat sulit mengungkap korupsi dengan alasan rahasia negara,” tukas Al Araf.
5. UU Intelijen membolehkan BIN menginterogasi orang-orang yang dicurigai atau menjadi target operasi intelijen. Menurut Al Araf, toleransi ini menunjukan kerja intelijen lemah. Sebab, interogasi merupakan tugas penegakan hukum bukan kerja intelijen.
“UU Intelijen ada pasal penggalian informasi, boleh menginterogasi tersangka, baik kasus belum selesai atau sudah selesai. Istilah penggalian informasi dikenal di Orde Baru dengan cara pinjam meminjam tahanan. Istilahnya nge-bon dulu. Dibawa ke BIN lalu dibawa ke BAIS, dikembalikan sudah babak belur,” kata Imparsial.
“Intelijen kan prinsipnya melumpuhkan lawan tanpa menyentuh lawan. Kalau interogasi itu tugasnya penegakan hukum,” tambah Al Araf.
6. UU Intelijen menyebut ketahanan ekonomi nasional merupakan rahasia negara. Namun saat Imparsial menanyakan ke DPR, lembaga pembuat UU itu kebingungan sendiri.
“Seorang anggota Komisi I bilang seperti rahasia perbankan dan sumber-sumber ekonomi seperti saham, inflasi dan sebagainya. Saya bilang kan sudah ada institusi ekonomi yang mengatur ekonomi. Dia hanya menjawab, pokoknya ketahanan ekonomi. Bagi saya, DPR ini malas berfikir dan bekerja,” tandas Imparsial.
7. KIP menyorot soal kinerja BIN yang sangat tertutup, apalagi nantinya dengan UU Intelijen bila telah aktif berlaku. Pimpinan KIP Alamsyah menyebutkan, justru lembaga intelijen dan penyelidikan di AS mencoba terbuka terhadap publik.
“FBI dan CIA mempunyai website. BIN tidak. Di dalam websitenya, ada diatur apa-apa yang menjadi rahasia negara, apa yang bukan. Di Inggris, semua privasi dan properti warga negara harus dilindungi. Kita kan enggak jelas. Itu salah satu contoh,” tegas Alamsyah. (detik.com, 14/10/2011)
Sementara Komisi I DPR yang diundang tidak hadir tanpa alasan hingga diskusi selesai.
1. Menurut Imparsial, UU tersebut bukan merepresentasikan UU Intelijen melainkan UU Badan Intelijen Negara (BIN). Sebab, 80 hingga 90 persen isi Undang-undang mengatur badan intelijen tersebut.
“Ada delapan sampai sembilan institusi intelijen di Indonesia. Ada intelijen militer seperti teritorial, keimigrisian, bea cukai, kejaksaan, polisi. Ada intelijen dari lulusan sekolah intelijen negara, ada intelijen dari polri, ada dari militer. Tetapi yang diatur UU Intelijen, 80 sampai 90 persen menunjuk BIN,” kata Direktur Program Imparsial, Al Araf.
“Mereka melapor ke institusi masing-masing tetapi juga melapor ke BIN. Ada dualisme kepentingan yang tidak diatur dalam UU,” tandasnya.
2. Soal definisi rahasia negara yang menjadi objek utama UU Intelijen, tidak menyebutkan secara pasti apa itu rahasia negara. Pimpinan KIP, Alamsyah Saragih menyebutkan, definisi rahasia negara sangat abu-abu.
“Rahasia intelijen merupakan bagian rahasia negara. Tapi pada scoope penulisannya justru kebalik, rahasia negara merupakan rahasia intelijen. Ini rancu,” kata Alamsyah.
3. UU Intelijen menyebutkan informasi tentang kekayaan alam menjadi rahasia negara yang penting. Bila membocorkan, dapat dikenai sanksi penjara atau denda hingga Rp 500 juta. Namun, UU tersebut tidak menjabarkan lebih terang dalam penjelasan UU itu.
“Itu menyangkut kontrak pertambangan, kita tidak tahu bunyi kontraknya seperti apa. Yang tahu ya hanya pengusaha-pengusaha saja. Saat kita tahu, dikira mencuri rahasia negara dan terancam sanksi pidana,” ucap Al Araf.
“Menurut saya, informasi intelijen ada di komunitas intelijen dan beredar di kalangan intelijen. Kalau sampai publik tahu, ya salah mereka yang membuka, membocorkan. Kalau alasanya ada hacker dan sebagainya, kalau itu ya pakai KUHP saja atau UU ITE,” lanjutnya.
Seirama dengan Imparsial, pasal kerahasiaan sumber daya alam juga dikritik KIP.
“Misalnya saya ketua badan penanaman modal, mempresentasikan kekayaan alam untuk menarik investor di luar negeri, pulang-pulang bisa tidak ke kantor tetapi ke Rutan Cipinang. Karena dianggap membocorkan rahasia negara,” timpal Alamsyah.
4. UU Intelijen menyatakan masalah pertahanan dan keamanan merupakan rahasia negara tanpa menyebutkan apa-apa saja yang dilindungi kerahasiaanya. Menurut Imparsial, pasal tersebut sangat luas mulai seperti kebijakan dan anggaran.
“Kalau masalah rencana operasi intelijen, strategi, mekanisme dan taktik, itu di mana-mana memang rahasia. Tapi bagaimana dengan anggaran pertahanan kita? Apakah itu rahasia? Susah dong kalau anggaran pertahanan kalau tertutup. Kasus pengadaan. alutista, beberapa menjadi kasus korupsi. Dengan UU ini jadi semakin sangat sulit mengungkap korupsi dengan alasan rahasia negara,” tukas Al Araf.
5. UU Intelijen membolehkan BIN menginterogasi orang-orang yang dicurigai atau menjadi target operasi intelijen. Menurut Al Araf, toleransi ini menunjukan kerja intelijen lemah. Sebab, interogasi merupakan tugas penegakan hukum bukan kerja intelijen.
“UU Intelijen ada pasal penggalian informasi, boleh menginterogasi tersangka, baik kasus belum selesai atau sudah selesai. Istilah penggalian informasi dikenal di Orde Baru dengan cara pinjam meminjam tahanan. Istilahnya nge-bon dulu. Dibawa ke BIN lalu dibawa ke BAIS, dikembalikan sudah babak belur,” kata Imparsial.
“Intelijen kan prinsipnya melumpuhkan lawan tanpa menyentuh lawan. Kalau interogasi itu tugasnya penegakan hukum,” tambah Al Araf.
6. UU Intelijen menyebut ketahanan ekonomi nasional merupakan rahasia negara. Namun saat Imparsial menanyakan ke DPR, lembaga pembuat UU itu kebingungan sendiri.
“Seorang anggota Komisi I bilang seperti rahasia perbankan dan sumber-sumber ekonomi seperti saham, inflasi dan sebagainya. Saya bilang kan sudah ada institusi ekonomi yang mengatur ekonomi. Dia hanya menjawab, pokoknya ketahanan ekonomi. Bagi saya, DPR ini malas berfikir dan bekerja,” tandas Imparsial.
7. KIP menyorot soal kinerja BIN yang sangat tertutup, apalagi nantinya dengan UU Intelijen bila telah aktif berlaku. Pimpinan KIP Alamsyah menyebutkan, justru lembaga intelijen dan penyelidikan di AS mencoba terbuka terhadap publik.
“FBI dan CIA mempunyai website. BIN tidak. Di dalam websitenya, ada diatur apa-apa yang menjadi rahasia negara, apa yang bukan. Di Inggris, semua privasi dan properti warga negara harus dilindungi. Kita kan enggak jelas. Itu salah satu contoh,” tegas Alamsyah. (detik.com, 14/10/2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar