Jumat, 11 Februari 2011

PELAJARAN DARI TUNISIA DAN MESIR

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Sejak tumbangnya rezim Zine Al-Din ben Ali di Tunisia, pergolakan politik yang hangat kemudian menjalar ke negeri-negeri Islam lainnya seperti Yordania, Yaman, dan Mesir.

Ada pelajaran-pelajaran penting yang dapat kita tarik dari fenomena ini. Pelajaran ini sebagiannya merupakan fenomena positif, yakni sesuatu yang baik dan menjadi harapan kita. Namun sebagiannya negatif, yakni menunjukkan kelemahan dan penyimpangan dari norma Islam ideal.


Pelajaran Pertama, pergolakan politik ini menunjukkan adanya yang jurang yang dalam yang memisahkan penguasa dengan rakyatnya. Para penguasa ibaratnya ada di satu lembah, sedang rakyat ada di lembah lainnya. Mereka saling membenci dan saling mengutuk. Ini membenarkan sabda Nabi SAW,"Seburuk-buruk imam kalian adalah orang yang kalian benci dan kamupun membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalianpun mengutuk mereka..." (HR Muslim).

Keterpisahan penguasa dan rakyat ini diakibatkan oleh dua faktor utama. Faktor pertama, penguasa yang ada bukanlah pemelihara urusan rakyatnya sendiri, melainkan antek-antek kafir penjajah, khususnya Amerika Serikat. Dengan kata lain, para penguasa itu hanyalah kaum pengkhianat. Hosni Mubarak, misalnya, secara jelas menjadikan dirinya sebagai agen AS dan Israel. Karena itulah, pihak yang paling khawatir terhadap perubahan politik di Mesir adalah Israel, karena khawatir jangan-jangan Mesir tak bisa lagi diharapkan menjaga eksistensi dan stabilitas Israel.

Karena penguasa pengkhianat inilah, umumnya negeri-negeri Timur Tengah ditandai dengan fenomena menyedihkan : ada segelintir elit penguasa yang kaya raya, namun di sisi lain mayoritas rakyatnya bergelimang dalam kemiskinan dan pengangguran. Ketika Zine Al-Din ben Ali di Tunisia melarikan diri ke Arab Saudi, isterinya membawa 1500 kilogram emas batangan, harta rakyat yang telah dirampoknya.

Faktor kedua, sistem kehidupan yang dipaksakan penguasa adalah sistem yang tidak Islami, ada yang berbentuk republik (sekuler) dan sebagiannya berbentuk monarki. Jadi umat Islam dipaksa menjalankan sistem pemerintahan yang bertentangan dengan keyakinan dasarnya sebagai seorang muslim. Yang lebih menyedihkan, tak hanya sistemnya yang tak Islami, namun praktiknya pun penuh dengan tindakan represif yang biadab dan kejam. Di Tunisia, misalkan, setiap muslim yang mau shalat berjamaah di masjid, harus mendapat surat izin dari pihak keamanan. Di Mesir sudah terkenal ungkapan bahwa diding-dinding pun mempunyai telinga yang dapat mendengarkan bisik-bisik suara rakyat Mesir.

Di masa depan, agar penguasa dan rakyat menjadi satu kesatuan yang manunggal, wajiblah ia penguasa yang ikhlas, bukan pengkhianat, yang betul-betul menjadi pemelihara urusan rakyatnya yang terpercaya. Selain itu penguasa itu hendaknya hanya menerapkan ideologi Islam semata, bukan ideologi penjajah.

Pelajaran Kedua, pergolakan politik ini menunjukkan kawasan negeri-negeri Islam adalah satu kesatuan. Mereka mempunyai perasaan yang satu. Ketika satu negeri bergolak, negeri lain pun ikut bergolak. Mereka ibarat satu tubuh, ketika satu anggota tubuh sakit, rasa sakitnya menjalar dan dirasakan pula oleh bagian-bagian tubuh lainnya. Ini menggambarkan kondisi ideal umat Islam seperti sabda Nabi SAW,"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling saling mencintai di antara mereka, saling menyayangi di antara mereka, dan saling berempati di antara mereka, adalah bagaikan satu tubuh. Jika ada satu bagian tubuh yang sakit, maka anggota tubuh lainnya tak bisa tidur dan merasa demam." (HR Muslim). 

Ketika umat Islam di Tunisia berani melawan kediktatoran penguasanya, maka keberanian ini pun menular ke Mesir. Jelas ini suatu fenomena positif yang merupakan harapan dan pertanda baik bagi perjuangan umat Islam.

Ke depan, kesatuan perasaan ini harus disempurnakan lagi dengan kesatuan pemikiran. Jadi tak hanya perasaannya saja yang satu, namun juga ada kesatuan dalam hal konsep kehidupan yang ideal.

Pelajaran Ketiga, namun sayang, pergolakan politik ini juga menunjukkan sisi negatifnya, yaitu umat bergerak lebih karena faktor materi, seperti pengangguran dan kemiskinan, bukan karena motivasi spiritual, yakni karena dorongan Aqidah Islam. Di Mesir faktor ketidakpuasan masyarakat karena pengangguran dan kemiskinan nampak jelas menjadi pemicu aksi-aksi di Maidan Tahrir. 

Seharusnya, motivasi yang menggerakkan umat Islam adalah Aqidah Islam. Mereka seharusnya bangkit bergerak karena Aqidah Islam dihinakan atau dilecehkan. Mereka seharusnya bangkit bergerak karena hukum-hukum Alah ditelantarkan dan diganti dengan hukum thaghut yang kufur. Mereka seharusnya bangkit bergerak karena tempat-tempat suci umat Islam terancam rusak atau musnah oleh ulah kaum kafir. Mereka seharusnya bangkit bergerak karena Khilafah sebagai ajaran Nabi SAW dihancurkan oleh antek penjajah dan digantikan oleh sistem demokrasi yang kufur. Dan seterusnya.
Jadi, seharusnya kita sebagai umat Islam bangkit untuk bergerak semata-mata karena Allah, bukan karena faktor-faktor lainnya. Seharusnya umat Islam bergerak menumbangkan rezim dan mengganti sistem pemerintahan yang ada karena Allah semata. Kita menegakkan Khilafah karena kita diperintahkan demikian oleh Allah, bukan karena kita kaum fakir miskin.

Pelajaran Keempat, pergolakan politik ini, khususnya di Mesir, menunjukkan fenomena negatif lainnya, bahwa umat tak punya kesatuan visi perubahan. Tak ada satu kesatuan misi politik masa depan, karena masing-masing mempunyai visi sendiri-sendiri sesuai agenda masing-masing. Seperti diketahui revolusi rakyat (people power) di Mesir terdiri dari berbagai elemen, ada kaum aktivis Islam seperti Ikhwanul Muslimin, aktivis HAM, aktivis partai sekuler (seperti partai Wafd), kaum buruh, dan sebagainya. Mungkin mereka sepakat pada satu hal, yakni tumbangnya Hosni Mobarak, namun jelas mereka tak mempunyai visi bersama mengenai sistem pemerintahan ideal yang diharapkan. 

Maka dari itu, fenomena ini merupakan pembelajaran bahwa ke depan suatu gerakan massa seharusnya dikendalikan oleh satu visi yang sama, yang dikendalikan oleh satu kelompok yang paling besar dan dominan. Dengan cara demikian, jika terjadi perubahan, kita dapat berharap perubahan itu akan terjadi tak hanya pada level rezim (individu penguasanya), namun juga perubahan dalam level sistem pemerintahannya.

Meski demikian perlu diingat bahwa revolusi rakyat (tsaurah syabiyah) tetaplah bukan metode yang ditetapkan Islam dalam penegakkan kembali Khilafah. Sebab metode satu-satunya untuk menegakkan Khilafah hanyalah thalabun nushrah, yakni mencari dukungan dari kaum yang kuat dan berpengaruh (semisal pemimpin militer) agar mereka mengambil alih kekuasaan dan selanjutnya menyerahkan kekuasaan itu kepada umat untuk menegakkan Khilafah. Revolusi rakyat bukan metode, melainkan hanya suatu momentum yang dapat dimanfaatkan untuk lebih mendekatkan kepada keberhasilan thalabun nushrah.

Pelajaran Kelima, pelajaran terakhir, janganlah kita terlalu gembira dan berharap dari fenomena pergolakan politik ini. Mungkin kita berharap pertolongan Allah sudah dekat dan Khilafah akan segera tegak. 

Berharap tentu boleh saja. Namun kita harus sadar, kaum kafir penjajah khususnya AS tentu tak akan tinggal diam menyaksikan perubahan ini. Kaum kafir penjajah tentu juga terus berusaha mengendalikan dan mengontrol jalannya perubahan politik ini agar tetap sesuai dengan kepentingan mereka.

Koran Daily Telegraph (Inggris) menyebutkan bahwa sejak 2008 telah terjadi kontak rahasia antara diplomat-diplomat AS dengan para aktivis HAM Mesir yang bertujuan untuk menumbangkan Hosni Mobarak pada tahun 2011. (Seputar Indonesia, 30 Januari 2011). Setelah bergolak demonstrasi di Mesir, Menlu AS Hillary Clinton di Qatar memberikan rekomendasi solusi untuk Mesir, yakni pemilu yang dipercepat. Ini menunjukkan bahwa AS tak tinggal diam, melainkan terus bekerja untuk mengendalikan perubahan dan terus berupaya mempertahankan cengkeramannya yang jahat di Mesir khususnya, dan di Timur Tengah pada umumnya. Wallahu alam [Yk, 11-02-2011, 15.30 wib]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar