Baik untuk kesehatan sekaligus bekal berjihad
Kebaikan akan berhadapan dengan kejahatan. Begitulah sunatullahnya. Maka tak heran bila para da'i dan para santri sejak dulu membekali diri dengan kemampuan bela diri. Di kalangan Nahdhatul Ulama (NU), misalnya, dikenal perguruan pencak silat Pagar Nusa. Di Muhammadiyah ada Tapak Suci. Belakangan muncul thifan, bela diri sejenis kungfu.
Rasulullah sendiri, dalam satu riwayat, memang pernah berwasiat agar kaum Mukminin mengajarkan anak-anaknya ketangkasan bertarung dan membela diri seperti bermain pedang, memanah, menunggang kuda serta berenang.
Saat Islam mulai menyebar ke kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur, kaum Muslimin di kawasan ini terus memegang wasiat Rasulullah itu, mempelajari beladiri yang sesuai dengan kebiasaan dan keahlian masyarakat setempat.
Di Asia Selatan dan Asia Timur, terutama di kawasan Cina, para da'i mengandalkan beladiri bernama Thifan Po Khan. Sejenis kungfu yang dikombinasi dengan beladiri lainnya serta sudah dibersihkan dari unsur-unsur kesyirikan dan kejahiliyahan. Menurut sesepuh dan perintis kebangkitan thifan di Indonesia, Ustadz Merzedek, diperkirakan thifan lahir pada sekitar tahun 700-an, sejalan dengan perkembangan Islam ke berbagai belahan dunia.
Pukulan Tangan Bangsawan
Dalam bahasa Urwun, Thifan Po Khan memiliki arti pukulan tangan bangsawan. Disebut demikian karena gerakan-gerakan dalam thifan relatif halus dibandingkan beladiri serumpunnya seperti Syufu Taesyu Khan, sehingga beladiri yang halus ini dianggap cocok untuk para bangsawan.
Di negeri Cina, thifan menjadi olah raga beladiri kalangan pesantren-pesantren yang lazim disebut lanah (berasal dari bahasa Arab: lajnah, yang berarti lembaga/panitia/yayasan, red). Layaknya pesantren di sini, yang dipelajari dalam lanah tidak hanya ilmu beladiri, tetapi justru yang utama adalah ilmu-ilmu agama. Kini istilah lanah masih digunakan untuk menyebut sebuah padepokan latihan thifan, meski bukan lagi berupa lembaga pendidikan seperti pesantren.
Agak berbeda dengan olahraga beladiri lain yang telah berkembang di tanah air, di thifan kelompok latihan laki-laki dan perempuan senantiasa dilakukan terpisah (waktu latihan berbeda). Bahkan diusahakan pelatihnya pun yang sejenis. Gerakan-gerakan dan jurus antar dua kelompok ini juga berbeda; untuk kalangan perempuan lebih halus.
Setiap kali latihan harus dimulai dan diakhiri dengan doa pembuka dan penutup majelis. Bahkan untuk lanah-lanah di Jakarta, usai latihan kerap ditambah dengan majelis ilmu berupa pembahasan kitab shirah (sejarah) Nabi dan para sahabat. Mirip halaqah majelis ta'lim.
"Dulu saya sering terserang flu yang kronis, tapi sejak berlatih thifan, alhamdulillah sembuh," tutur Ibtidain Hamzah Kham pelatih senior thifan mencontohkan manfaat berlatif thifan.
Gerakan-gerakan dasar dalam thifan meliputi pukulan, tendangan, sapuan, bantingan, serta elakan. Selain itu juga berlatih koprol dan salto, sebagaimana sering dilihat di film-film laga dari Hongkong. Latihan salto ini sangat diperlukan untuk bertarung, terlebih jika dikeroyok banyak orang.
Yang tak kalah penting adalah latihan pernafasan. Selain untuk kesehatan, latihan ini berguna untuk membangkitkan daht (tenaga dalam) dari tubuh kita, baik berupa daht panas maupun daht dingin. Dengan daht panas, bagian tubuh orang yang terkena akan hangus. Sebaliknya dengan daht dingin, dapat menjalarkan rasa dingin membeku pada bagian tubuh lawan hingga ke pangkal tulang.
Menurut Ibtidain, hanya mereka yang tekun dan rutin berlatih yang dapat cepat menguasai berbagai keunggulan thifan. "Ada dua akhwat murid saya yang sangat tekun dan rajin berlatih, sehingga meski baru sekitar setahun berlatih mereka sudah mampu mengeluarkan daht dalam pukulannya," ungkapnya.
Ibtidain punya kebiasaan unik. Kadang-kadang sengaja naik bus kota yang ditengarai banyak copetnya. Begitu copet beraksi ia pun turut beraksi menghajar si tangan-tangan jahil itu, hingga mereka terkapar.
Sesekali ia pun mengajak para murid senior untuk memerangi penjahat-penjahat jalanan. Cari penyakit? "Oh tidak, ini latihan berjihad melawan kemunkaran," jawab Ibtidain sambil nyengir. Hitung-hitung partisipasi masyarakat membantu polisi mengamankan kota. "Buat apa belajar beladiri jika tidak dimanfaatkan untuk melawan kemungkaran," tambah alumnus Jurusan Syariah LIPIA Jakarta ini.
Selama ini ia sudah sekitar 20 kali bertarung dengan para preman dan penjahat. Debut pertama ia lakukan tahun 1995. Mulanya tidak sengaja, alias kepepet. Waktu itu ia akan dipalak (dimintai uang) empat orang preman, tapi pemuda ini melawan hingga seorang yang terbesar dibantingnya hingga terkapar.
Sejak itulah ia jadi rajin beroperasi memberantas preman dan penjahat, meski harus menghadapi risiko dikeroyok. Di terminal Cirebon ia pernah dikeroyok oleh lebih dari 20 preman setempat. Mulanya ia sempat meng-KO beberapa di antaranya, tapi karena tidak berimbang ia akhirnya memilih kabur. "Untuk menghindari kepungan mereka saya terpaksa lari di atas genteng rumah-rumah orang, seperti ninja saja," kenangnya sambil tersenyum.
Setahun belakangan aktivitas itu ia kurangi. Bukan berhenti, tapi ia hendak mempersiapkan sebuah tim khusus pemberantas kejahatan.
***
Dalam kitab Zho Dam tertulis, thifan merupakan ilmu perkelahian tersendiri dan merupakan pecahan dari ilmu Tae Kumfu (Kungfu Tao). Tae berarti dahsyat, sedangkan Kumfu berasal dari kata kungfu yang dalam bahasa Cina berarti tekun, kebaikan, silat atau tenaga yang terpusat.
Kitab Zho Dam itu merupakan sebuah kitab kuno tentang thifan karya Ahmad Syiharani, seorang pendekar thifan asal Urwun, Cina. Sayangnya tidak tercantum kapan tahun ditulisnya. Hanya diketahui, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu beberapa abad lalu oleh Hang Nandra Abu Bakar, hulu balang Sultan Iskandar Muda di Aceh.
Karena itu, seperti dituturkan Ibtidain, sebenarnya thifan sudah masuk ke Nusantara jauh sebelum beladiri 'impor' lain masuk ke negeri ini, melalui Aceh, saat Serambi Mekah ini dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun 1678. Sumber lain mengatakan, thifan masuk ke tanah Sumatera saat Aceh dipimpin oleh Malik Mudhofar Syah.
Di Aceh thifan sempat menjadi beladiri resmi kerajaan. Kemudian dari ujung Sumatera ini thifan menyebar ke Riau, Malaysia serta Muangthai.
Menurut Merzedek, pada tahun 1960-an thifan sempat ramai digandrungi di kalangan pemuda Islam di kota Bandung. Mereka sangat bersemangat berlatih thifan untuk menghadapi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada waktu itu sedang berjaya berkat dukungan pemerintah Orde Lama pimpinan Soekarno.
Sayangnya, setelah PKI berhasil ditumpas, semangat pemuda Islam mempelajari thifan jadi menurun. "Dengan dilarangnya PKI mungkin mereka merasa musuh yang dihadapi sudah habis ditumpas, sehingga tidak ramai lagi latihannya," ungkap Merzedek kepada Sahid.
Setelah itu banyak kaum Muslimin yang mempelajari berbagai beladiri yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Menyadari hal itu, Merzedek tidak menyerah. Ia mengajak sejumlah rekan dan muridnya untuk kembali menghidupkan thifan di kalangan pemuda Islam.
Alhamdulillah sambutannya positif. "Dengan tifan, kita aman; dapat ilmu beladiri, sementara aqidah tetap terjaga," kata Rizal, salah seorang peserta tifan di lanah Ragunan. Selain alasan itu, menurut para peserta, mereka memilih beladiri ini karena thifan juga dinilai unggul karena gerakannya merupakan kombinasi dari kekuatan, kecepatan dan keindahan.
Sejak 1980-an thifan mulai go public ke luar Bandung, yakni merambah Sukabumi, Cianjur, Cirebon, Tasikmalaya dan Jakarta. Kemudian sejak 1990-an mulai merambah hingga ke Surabaya. Di Jakarta kini ada sekitar 10 pelatih senior yang masing-masing sekitar 3-8 lanah. Total ada sekitar 50 lanah.
http://thifanpokhan.tripod.com/Berita_hidayatullah.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar