Perang Korea dimulai dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Perang ini juga disebut "perang yang dimandatkan" (bahasa Inggris proxy war) antara Amerika Serikat dan sekutu PBB-nya dan komunis Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet (juga anggota PBB). Peserta perang utama adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Sekutu utama Korea Selatan termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya, meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB. Sekutu Korea Utara, seperti Republik Rakyat Tiongkok, menyediakan kekuatan militer, sementara Uni Soviet yang menyediakan penasihat perang dan pilot pesawat, dan juga persenjataan, untuk pasukan Tiongkok dan Korea Utara. Di Amerika Serikat konflik ini diistilahkan sebagai aksi polisional di bawah bendera PBB daripada sebuah perang, dikarenakan untuk menghilangkan keperluan kongres mengumumkan perang. (http://id.wikipedia.org)
Sebagaimana yang telah diberitakan bahwa Perang Korea Utara dan Selatan kembali pecah. Pihak Korea Selatan mengatakan militer Korea Utara menembakan sekitar 200 peluru artileri ke salah satu pulau Korea Selatan di dekat wilayah perbatasan bagian barat yang diperebutkan dengan Korea Utara. Insiden ini merupakan yang terburuk sejak Perang Korea 1950-an. Kantor berita Reuters melaporkan pemimpin tertinggi Korea Selatan mengadakan pertemuan di sebuah bunker di ibu kota Seoul. (http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/11/23/). Serangan tersebut menyebabkan sejumlah korban tewas akibat serangan Korut di Yeonpyeong hingga kini berjumlah empat orang. Dua korban lainnya adalah tentara marinir Korsel. Menurut tim dari Penjaga Pantai Korsel, seperti dikutip kantor berita Associated Press (AP), kedua warga. sipil yang tewas itu sama-sama berusia 60-an tahun. (http://dunia.vivanews.com/news/2010/11/24).
Menurut analis Hubungan Internasional Indoensia Institute Strategic Studies (IISS), Begi Hersutanto, Korsel dan Korut merupakan wilayah yang digunakan oleh AS dan China untuk menyebarkan pengaruh dalam politik global. “Dari sudut pandang Geopolitik dan Geostrategy, semenanjung Korea merupakan wilayah strategis bagi keduanya, dimana Korut adalah buffer zone untuk China, sementara Korsel adalah buffer zone untuk sekutu-sekutu AS di Asia-Pasifik,” jelas Begi, kepada Waspada Online, pagi ini. Menurut analis tersebut, AS dan China merupakan dua kekuatan super power dalam politik global yang apabila bersinggungan konflik secara langsung akan tidak terelakkan. (http://www.waspada.co.id/2010/28/11)
Namun, kepala Pusat Penelitian Globalisasi, sebuah organisasi think tank independen Kanada, mengklaim bahwa kesan bahaya dari Korea Utara terlalu dilebih-lebihkan..Michel Chossudovsky mengatakan Korea Utara lebih merupakan sosok mangsa dibandingkan pemangsa. “Media internasional menggambarkan Korea Utara sebagai ancaman keamanan dunia, tapi sama sekali tidak ada bukti mengenai hal itu. Di sisi lain, Korea Utara adalah satu-satunya negara di muka bumi ini yang telah kehilangan hingga seperempat penduduknya dalam sejarah modern (dalam Perang Korea, ketika populasi Korea Utara disapu oleh bom-bom AS),” kata Chossudovsky kepada RT (http://konspirasi.com)
Jadi sesungguhnya yang terjadi dibalik konflik dua Korea adalah manuver politik Amerika Serikat, sebab :
Pertama : Pasca runtuhnya Sosialisme Uni Sovie, salah seorang pemikir AS yaitu Samuel Hantintong dalam bukunya Benturan Peradaban memprediksi bahwa sesungguhnya ancaman kapitalisme dimasa yang akan datang adalah revivalisme Islam dan konfusius Cina, prediksi tersebut tidaklah berlebihkan karena pada faktanya saat ini ekonomi Cina semakin menguasai Pasar dunia terutama pasar Asia sehingga semakin mengancam eksistensi ekonomi AS. Dengan dukungan ekonomi yang kuat maka Cina akan mampu menghadapi perang dalam waktu yang lama dengan AS khususnya dalam masalah Taiwan, yang hingga kini Cina masih mengklaim sebagai bagian dari daratan Cina, namun AS pasang badan dalam masalah tersebut. Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki Cina, maka dalam kacamata AS, Cina memiliki potensi untuk mengusik keberadaan AS sebagai negara Adi Daya, setidaknya ditandai dengan upaya AS untuk mengisolasi Cina dengan cara memperkuat dan menjadikan negara-negara yang berbatasan dengan Cina sebagai antek untuk melaksanakan strategi politik AS seperti Taiwan, Korea Selatan, demikian juga bagian selatan AS memperkuat posisi India serta bagian barat membuat pangkalan militer di Kirgiztan.
Kedua: Sebagaimana kebiasaan Amerika Serikat yaitu selalu mendefinisikan negera tertentu dalam kategori sebagai negara berbahaya namun faktanya tidak pernah ada sebagaimana halnya ketika menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal sehingga dengan dalih tersebut menjadi justifikasi untuk menyerang Irak, namun faktanya sejak invasi militer tahun 2003 hingga saat ini senjata yang dituduhkan tidak pernah ada. Demikian juga halnya AS mendefenisikan korea Utara sebagai poros kejahatan dan ancaman perdamaian dunia, namun sesungguhnya itu adalah strategi politik untuk mengelabui sehingga Korea selatan dan Jepang benar-benar menganggap Korut sebagai ancaman sehingga AS memiliki alasan untuk mempertahankan ribuan pasukannya di semenanung korea dan Jepang. Keberadaan pasukan tersebut bukanlah untuk mengantisipasi ancaman Korut namun sesungguhnya adalah upaya untuk menghambat laju Cina. Maka pada titik ini kita bisa menyimpulkan bahwa AS akan tetap mempertahankan kondisi ketegangan dan tetap mempertahankan eksistensi korea Utara sebagai “ancaman” disemenanjung Korea. Wallahu A’lam Bish-shawab (Oleh : Alex Saifullah, KORWIL BKLDK Sulawesi Selatan Dan Barat ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar