Berbicara tentang perubahan masyarakat maka kita tidak akan melupakan sosok makhluk yang bernama Mahasiswa. Sejarah telah mencatat peran mahasiswa yang begitu sentral dalam melakukan perjuangan menuju kemerdekaan maupun mengawal kemerdekaan itu sendiri, ini menunjukkan bahwa jiwa militansi Mahasiswa dalam berjuang tidak pernah surut. Hal ini harus senantiasa tercatat dalam kamus seorang pendobrak kejumudan atau anti status Quo yang tidak mengenal lelah dalam berjuang apalagi mundur, yang ada adalah semangat yang terus menggelora. Setelah mencermati sejarah perjalanan kehidupan Bangsa sejak Indonesia mengadakan Proklamasi Kemerdekaan 65 Tahun lalu hingga saat ini secara substansial sesungguhnya kita masih berada dalam naungan ketiak negara imprealis (masih terjajah). Jadi inilah yang menjadi PR besar bagi Mahasiswa.
Salah satu gerakan yang paling ditakuti seantero jagat ini adalah gerakan Force yaitu gerakan yang lahir dari kesadaran mahasiswa itu sendiri, sekedar mereview kembali sejarah perjalanan dan perubahan sejak Proklamasi hingga sekarang setidaknya telah terjadi tiga kali perubahan yaitu perubahan dari orde lama ke orde baru kemudian dari orde baru beralih ke orde reformasi sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran mahasiswa.
Namun harus disadari bahwa mahasiswa hanyalah salah satu variable perubahan sehingga tidak layak kalau ada yang mengklaim bahwa mahasiswa sebagai satu-satunya variable yang memonopoli perubahan, karena faktanya perubahan bisa terjadi bukan hanya ekspresi jalanan yang dilakukan oleh mahasiswa namun besarnya dukungan dari masyarakat, militer, cendikiawan dan politisi serta media massa yang terus mempropagandakan jargon perubahan yang ditawarkan. Variable inilah yang menjadi kunci perjuangan sehingga perubahan itu bisa terwujud yaitu adanya Integrasi dari variable-variabel perubahan itu sendiri.
Untuk menelaah lebih mendalam terhadap Mahasiswa khususnya dari segi fungsi dan perannya yang tidak boleh berpisah dari identitasnya sebagai Mahasiswa, antara lain :
1. Sebagai Agen Of Change
Mahasiswa sebagai ikon perubahan atau dengan kata lain sebagai aktor pendobrak kejumudan berfikir masyarakat yang saat ini sedang terkontaminasi virus apatisme massal sehingga akibatnya masyarakat cenderung tidak kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka kondisi ini terjadi karena adanya desain yang licik oleh komprador (kaki tangan penjajah) untuk membungkam masyarakat. Sehingga bagaimana jadinya kalau Mahasiswa dan masyarakat sama-sama cuek terhadap kejumudan yang terjadi, meminjam perkataan Marco kartodikromo “Sungguh mati selama kamu, rakyat Hindia Belanda(baca Indonesia), tidak punya keberanian, kamu pasti akan selalu di injak dan disebut sebagai seperampat manusia”. Ketika kondisi jumud yang sudah menjangkiti masyarakat maka mahasiswa sebagai intelektual muda harus menjalankan perannya untuk memberikan pencerahan, memompa semangat masyarakat agar punya ghiroh sehingga mereka bisa bernalar kritis. Meminjam perkataan Ali Saryati beliau mengatakan “Tugas seorang Intelektual Muslim adalah senantiasa berada ditengah-tengah massa , membimbing massa, mengarahkan massa dan bersama-sama dengan massa melakukan perubahan kearah yang lebih baik dan lebih Islami”.
2. Sebagai Social Of Control
Mahasiswa selain berfungsi sebagai agen perubah juga berperan untuk mengontrol masyarakat artinya tidak boleh membiarkan masyarakat tertindas baik secara fisik maupun kebijakan-kebijakan kejam yang dilakukan oleh rezim Reformasi. Olehnya itu siapa saja menyandang status sebagai Mahasiswa harus menunjukkan kemapanan pemikiran sebagai cerminan masyarakat intelektual. Nah selain itu mahasiswa harus konsisten dan lantang menyuarakan kegelisahan-kegelisahan masyarakat.
3. Sebagai Agent of Architek.
Dalam berjuang modal semangat saja tidak cukup tetapi harus ditopang oleh konsep yang matang sehingga mampu melakukan manuver-manuver yang cantik dalam rangka mewujudkan harapan-harapan ideal yang dicita-citakan. Dalam pengertian bahwa mahasiswa memiliki kemampuan untuk melakukan rekayasa-rekayasa perubahan serta menyiapkan perangkat-perangkat perubahan tersebut, untuk itulah ustad Ismail Yusanto (Jubir HTI) berpesan bahwa Individu atau organisasi apapun yang ingin melakukan sebuah perubahan maka harus mampu mejawab tiga pertanyaan mendasar antara lain :
• Bagaimana melihat realitas masyarakat yang ada sekarang?
• Bagaimana bentuk masyarakat Ideal yang dicita-citakan?
• Bagaimana berangkat dari masyarakat yang ada sekarang menuju masyarakat ideal yang dicita-citakan?
Sebab Perlu dipahami bahwa bukan hanya sekedar terjadinya sebuah perubahan tetapi bagaimana perubahan bisa berimplikasi terhadap kehidupan yang lebih baik serta adanya kesejahteraan sebagaimana harapan masyarakat ketika terjadi sebuah perubahan. Sudah tiga kali terjadi perubahan Orde yaitu Orde lama (bercorak sosialisme), orde baru (Kapitalisme) serta orde reformasi (kapitalisme Liberalisme) yang sedang berlangsung sudah cukup menjadi sebuah bahan kontemplasi untuk meninjau kembali tatanan perubahan tersebut yang kesemuanya bermuara pada titik yang sama yaitu kehidupan yang sengsara dan penderitaan rakyat yang tidak berujung. Hanya tinggal satu sistem yang belum pernah diberi kesempatan untuk mengatur tatanan kehidupan dinegeri ini yaitu sistem Islam yang dikemas dalam bentuk negara Khilafah. Maka untuk itulah gerakan apapun harus berbesar hati mengkonstruksi ulang paradigma, tujuan dan target yang ingin dicapai sehingga perubahan bisa mewujudkan tatanan masyarakat ideal sebagaimana yang telah dikonstruksi oleh Rasulullah di Madinah yang dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin serta para Khalifah setelahnya. WalLâhu a’lam bish-shawâb (Oleh Alex Saifullah, BE Korwil BKLDK Sulawesi Selatan Dan Barat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar