Senin, 02 November 2009

Perlukah Ideologi Mahasiswa ?

Menanggapi pertanyaan diatas, setidaknya akan ada beberapa asumsi awal terkait apa yang menjadi landasan filosofis kemunculannya. Berangkat dari pendekatan teks, ungkapan tersebut bisa berarti selama ini mahasiswa tidak atau belum memiliki paradigma ideologi, atau bisa juga berarti mahasiswa sebenarnya telah berideologi tapi masih terkooptasi oleh sebuah anutan ideologi elite tertentu, dalam artian masih jauh dari sifat kemandirian dalam berideologi. Asumsi yang lebih jauh, pertanyaan tersebut muncul sebagai sebuah keprihatinan atas hasil buruk yang telah dicapai oleh mahasiswa setelah menganut pola tertentu yang jauh dari mid-set ideologi sehingga muncul sebuah keinginan untuk mencoba pola baru dengan pendekatan yang berbasis ideologi. Apapun asumsi yang dianggap benar, setidaknya kemunculan pertanyaan tersebut menunjukkan masih adanya usaha mahasiswa untuk keluar dari kejumukan dan stagnatisasi yang berlangsung selama ini, meskipun mungkin baru dalam tataran diskursus.

Realitas Ideologi
Membahas mahasiswa, tentu tidak bisa dilepaskan status asalnya sebagai manusia dengan identitas kemanusiaan yang dimiliki secara. Bukan berarti dengan status sebagai mahasiswa, maka kalau kita tidak butuh makan, kalau mengantuk tidak ingin tidur, kalau tertekan tidak berusaha berontak, kalau merasa terancam akan berupaya mempertahankan diri, atau sifat-sifat manusiawi yang lain. Termasuk dalam hal menentukan sikap untuk berideologi atau tidak, tentu tidak bisa dilepaskan dari sisi bahwa mahasiswa juga manusia. Ada tiga pertanyaan mendasar yang senantiasa ingin dipecahkan oleh manusia menyangkut keberadaannya di dunia ini. Ketiga pertanyaan itu adalah: (1) Darimana asal manusia dan kehidupan ini?; (2) Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?; (3) Mau kemana manusia dan kehidupan setelah ini? Ketika tiga pertanyaan di atas terjawab—terlepas jawabannya benar atau salah—maka seseorang telah memiliki landasan, tuntunan, sekaligus tujuan hidup. Dia akan hidup di dunia ini sesuai dengan landasan itu. Dia akan berbuat dengan standar dan nilai-nilai yang didasarkan pada landasan tersebut. Dia akan menjalankan aktivitas ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain berdasarkan landasan tersebut. Bahkan ia akan mengajak orang/kaum lain agar menjalankan kehidupannya dengan mengikuti landasan tersebut. Pada masa sekarang, pada faktanya, landasan hidup yang digunakan manusia itu adalah ideologi.
Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam. Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).
Pada kenyataannya, di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam.


Ideologi Adalah Dasar Kebangkitan
Kata kebangkitan adalah sebuah kata indah yang seringkali diucapkan untuk memaknai sebuah kondisi baru yang lebih baik. Sebuah kondisi masa depan yang lebih progresif, tetapi kadang-kadang hanya menjadi sebuah khayalan atau utopi baru bagi orang-orang yang suka berkhayal. Kita katakan demikian karena kesadaran orang-orang itu tidak lagi mampu menjangkau arti sebuah kebangkitan. Kebangkitan dalam pemaknaan mereka hanya mampu dimaknai sebagai sebuah semangat untuk berubah sampai pada titik dimana semangat itu redup kemudian mati. Lalu sudut-sudut negeri ini kian gelap, sampai pada saat kegelapan itu makin larut, suara-suara kebangkitan itu menyendiri, seperti sepinya lolongan serigala yang memandang terangnya bulan dari kejauhan.
Kebangkitan dibutuhkan baik bagi seorang individu maupun sebagai umat. Hal ini dikarenakan sumber dari ideologi adalah konsepsi pemikiran mendasar, dan faktanya manusia secara umum akan bertingkah laku sejalan dengan buah pemikiran yang menjadi pemahaman yang diyakini. Individu yang bangkit akan mampu menatap hidup dengan lebih mantap dan terarah. Sebuah umat yang bangkit cenderung menjadi berpengaruh dalam percaturan/interaksinya dengan umat-umat atau bangsa-bangsa yang lain. Bahkan menjadi poros perputaran interaksi antara bangsa-bangsa sehingga, kemanapun ia berputar maka umat-umat atau bangsa lain akan mengikutinya. Kondisi ini dengan sendirinya akan membentuk peta politik internasional dan menempatkan umat-umat itu pada posisi relatifnya masing-masing. Sehingga, umat yang berpengaruh (bangkit) secara otomatis menjadi kiblat interaksi (atau menjadi negara dunia pertama), sampai pada titik yang paling tinggi ketika umat itu menjadi kiblat ideologis (mabda’i) dalam interaksi internasional itu.
Sementara itu, disisi lain negara-negara dunia ketiga secara otomatis akan memilih kiblat interaksinya, tergantung dari adanya kesamaan tertentu atau sama sekali hanya mengikuti arus perputaran itu. Realitas semacam ini dapat dilihat ketika Khilafah Islamiyah mengendalikan interaksi antara bangsa sebelum keruntuhannya, Uni Sovyet dan Amerika Serikat masing-masing memimpin interaksi Blok Timur dan Blok Barat pada masa lalu. Atau setelah Blok Timur runtuh, maka bangsa-bangsa yang bangkit seperti AS, Inggris, Jerman, dll., masing-masing secara relatif menjadi pengendali interaksi internasional.Bagaimana dengan Indonesia? Jelas bahwa Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara yang bangkit. Jangankan berbicara tentang keinginan untuk menguasai dunia, mengatasi masalah dalam negeri saja sangat payah.
Pertanyaannya sekarang, diantara dua pilihan antara menjadi umat yang bangkit atau menjadi umat yang berposisi subordinat, mana yang kita inginkan? memilih menjadi umat yang bangkit artinya kita ingin menjadi umat yang berkuasa, umat yang terdepan, dan pemimpin, ataukah kita hanya ingin menjadi umat yang subordinat yang artinya terbelakang, pengekor, tidak punya harga diri, dan harus siap menjadi obyek pembodohan. Pertanyaan ini perlu dijawab sebagai sebuah Kondisi yang ideal yang kita inginkan untuk kemudian menetapkan langkah-langkah yang harus dilalui. Begitu pula bagi mahasiswa dengan berbekal ruh perubahan yang dimiliki diharapkan nantinya bisa menetapkan mainstrem pergerakannya supaya tidak terkesan asal-asalan dan apa adanya.

Benturan Ideologi adalah Keniscayaan
Memahami bahwa ideologi terlahir dari pemikiran mendasar terkait pada obyek pembahasan yang sama, maka jelas perbedaan kesimpulan yang dihasilkan memastikan terjadinya benturan. Benturan mutlak harus ada dikarenakan kesimpulan dari pembahasan ideologi adalah dua kutub ekstrim yakni salah atau benar. Disinilah kesalahan yang terjadi selama ini, jika pembahasan terkait ideologi berusaha untuk di reduksi dan dijauhkan dengan alasan mencari titik kompromi atau menghindari clash. Bahkan ada yang sampai berusaha untuk mengunci rapat pembahasan ideologi. Bukankan ujung pembahasan ideologi itu adalah rasionalitas, pencerahan dan kebenaran ? Bukankah kita adalah makhluk yang mulia dikarenakan potensi akal yang dimiliki, tentu memang mencari rasionalitas, pencerahan, dan kebenaran ? Lalu apakah pantas kita lari dari sebuah ranah keharusan untuk berideologi dengan benar yang berarti kita rela mencabut sisi kemuliaan kita sebagai manusia ?
Dunia senantiasa bergerak dalam sebuah orbit pertarungan ideologi. Tidak terkecuali hari ini, dimana orbit utama adalah dikendalikan oleh ideologi kapitalisme (baca : AS). Posisi ini membuat AS leluasa untuk menjajankan nilai – nilai yang dianut oleh ideologinya, dalam bentuk hegemoni dan eksploitasi. Kekuatan ideologi menegasikan adanya limit territorial dalam penyebarannya. Magnet ideologi sedemikan kuat untuk menembus seluruh ruang – ruang dunia. Kita bukan saatnya lagi menganggap bahwa, ekses Jakarta itu tidak ada kaitannya dengan Washinton, ekses Makassar itu tidak ada kaitannya dengan Ibu kota, pemilu di Indonesia itu tidak ada kaitannya dengan Gedung Putih, ataukah BHP unhas itu tidak ada kaitannya dengan intervensi UU liberal yang banyak di intevensi oleh Barat dinegeri ini. Hal ini penting untuk kita ketahui, agar kita betul – betul sampai pada hasil identifikasi masalah yang akurat, yang tentu akan berkaitan dengan solusi yang ingin kita gagas. Jika kita mampu menterjemahkan persoalan ini dengan kaca mata ideologi dalam kancah kosmo dan global, maka tentu kita akan memahami beberapa hal : Mungkinkah teriakan perubahan kita yang bersifat lokal itu mampu menggetarkan. Mungkinkah racun sekularisme dan kapitalisme (sumber masalah) yang terkemas dalam wadah ideologi yang apik, bisa kita hentikan dengan paradigma gerak yang pragmatis, emotional, dan sporadis layaknya gerakan ayam potong sebelum matinya.
Jadi sebenarnya yang menjadi penyebab atau pendorong utama kebangkitan umat adalah Ideologi (Mabda). Sebagai contoh dan juga sebagai alternatif yang ingin ditawarkan penulis adalah Islam. Islam adalah sebuah ideologi dikarenakan darinya terlahir sistem kehidupan.. Ideologi (Mabda’) Islam yang dimaksud adalah mabda’ Islam yang memiliki kejelasan konsep/fikroh/pemikiran dan thoriqoh/metode operasional yang berfungsi untuk menerapkan fikroh dan menyebarluaskan mabda’ Islam itu ke seluruh penjuru dunia. Kita capai kebangkitan Islam yang hakiki dengan menjadikan Islam sebagai azas kebangkitan kita, mengatur kehidupan kita dan melakukan interaksi dalam dan luar negeri dalam payung ideologi Islam. Sehingga Islam akan berputar, dan menjadi poros perutaran seluruh bangsa. Oleh sebab itu kita tidak harus menjadi plagiator ideologis dengan mencontoh kebangkitan eropa maupun sovyet untuk meraih kebangkitan. Islam memiliki karakter yang khas dalam melakukan transformasi sosial. Dengan terlebih dahulu memunculkan kesadaran ideologis (ini yang tidak ada sekarang) untuk menjadi Khairu Ummah (umat terbaik). Selanjutnya dari kesadaran itu terbentuk gerakan politik yang bergerak dengan karakter yang tegas untuk kemudian mentransformasikan kesadaran itu ditengah-tengah umat. Hingga akhirnya bersama-sama menyambut kebangkitan itu. Kita semua menginginkan kebaikan, tapi sesungguhnya kebaikan yang kita inginkan hanyalah ada pada ideologi Islam
Melangkah mencapai kebangkitan itu tidak bisa dilakukan dengan menggunakan kaki yang sama ketika kaki itu terbukti telah puluhan tahun lumpuh dan menimbulkan efek keterpurukan yang menetap serta memperlama ketertidasan kita dibawah kungkungan ideologi kapitalisme. Lalu apa yang kita harapkan dari sekularisme yang telah hampir sembilan puluh tahun menindas dan membuat penjara sistem yang membuat kita tidak bebas menyuarakan Mabda’ islam kita. Untuk apa kita harus berkompromi dengan kapitalisme dengan segala derivat ideologinya seperti demokrasi, liberalisme dan lain-lain.

Positioning Mahasiswa
Status kita sebagai mahasiswa jangan membuat kita justru keluar dari orbit ideologi. Sikap itulah yang telah menyebabkan hasil pencapaian kita begini-begini saja. Perlu ada revitalisasi peran mahasiswa yang bersifat utuh. Predikat filosofis mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), kekuatan moral (moral force), cadangan potensial (iron stock), dan sebagainya jangan hanya menjadi ungkapan romantisme belaka. Alasannya karena slogan romantis tersebut tidak pernah menemui realitasnya secara benar! Dalam tataran gerakan, perlu dimunculkan kesadaran kolektif akan pentingnya upaya rekonstruksi gerakan yang saatnya berbasis pada paradigma ideologi. Ini dulu yang penting sebagai landasan gerak, adapun tataran metodelogi dan strategi akan kita kontekskan berdasarkan potensi dan peran mahasiswa sebagai “salah satu” intrumen perubahan masyarakat.Wallahu A’lam Bishowab

Penulis Rusia dan Amerika: Khilafah Akan Kembali Tegak!

HTI-Press. Keyakinanan akan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah tidak hanya diyakini oleh para pejuang penegak Khilafah saja. Para penulis Barat juga meramalkan Khilafah akan kembali tegak di waktu yang akan datang. Jika orang Barat saja percaya Khilafah akan kembali tegak, mengapa sebagian kaum Muslim menyangsikan kehadirannya? Akan adanya kembali Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah yang kedua telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw dan umat Islam akan berkuasa telah dijanjikan oleh Allah Swt. Sudah sepatutnya kaum Muslim bersegera bahu-membahu untuk mewujudkannya. Berikut dua berita terkait penulis Rusia dan Amerika yang menyatakan bahwa Khilafah akan kembali tegak.
Khilafah Tahun 2020 Di Dalam Pandangan Seorang Penulis Rusia ..!!
Rilis dari buku “Rusia .. Imperium ketiga”
Akhir-akhir ini, di Rusia telah diterbitkan sebuah buku yang berjudul “Rusia .. Kekaisaran ketiga,” ditulis oleh “Michael Ioreyev“, direktur sebuah perusahaan Rusia dan Wakil Presiden Rusia Union of Industrialists dan Wakil Ketua Duma (Rusia Assembly).
Buku tersebut menyingung masa depan Rusia. Pada Coverian dalam buku berisi peta dunia menampilkan beberapa negara dan Eropa terletak di dalam batas-batas dari Rusia.
Penulis mengatakan bahwa ia memperediksi aka nada beberapa Negara Besar di dunia yang akan muncul pada tahun 2020. Saat itu,akan terdapat empat atau lima negara berperadaban ,yaitu Rusia, yang akan menguasai benua Eropa,Cina, Negara Timur Jauh, Negara Khilafah Islam dan Negara konferderasi Amerika yang akan menggabungkan Amerika Utara dan Amerika Selatan. Begipai Negara Islam.
Penulis tidak bisa memastikan bahwa hanya Rusialah yang akan menguasai benua Erofa. Tapi ia meyakini bahwa peradaban Barat pasti akan lenyap. Pasti akan diperangi atau dikuasai oleh beberapa Negara tersebut.
Tentang system yang akan diadopsi oleh Imperium ketiga itu, penulis mengatakan” sisitem itu adalah system kapitalis yang sebenarnya,yaitu sistem yang mampu memproduksi devisa paling besar dan memberikan peluang kerja untuk semua orang.
Sumber: Al-Aqsa.org, 19 Februari 2009
Resensi Buku: Kejatuhan dan Kebangkitan Negara Islam
Dalam bukunya yang terbit di tahun 2008 berjudul “Kejatuhan dan Kebangkitan Negara Islam”, Profesor Noah Feldman di Harvard menyatakan bahwa kemunduran Syariah Islam di masa lalu akan diikuti dengan kebangkitan Syariah Islam, suatu proses yang berakhir pada terbentuknya Khilafah Islam. Feldman adalah salah satu anggota komisi luar negeri New York. Buku-buku karangan dia sebelumnya juga membuat kejutan, seperti “Paska Jihad: Amerika dan Perjuangan Demokrasi Islam” (2003), “Hutang Kita Kepada Iraq: Perang dan Etika Membangun Negara” (2004), dan “Dipisah oleh Tuhan: Problema Pemisahan Negara dan Agama di Amerika — Apa yang Harus Kita Lakukan” (2005).
Bagi Feldman, beberapa kondisi tertentu diperlukan untuk memenuhi proses kebangkitan. Negara Islam akan menerapkan keadilan bagi umat, namun Negara tersebut tidak bisa dibangun dengan menerapkan sistem lama begitu saja, tapi harus mengenalkan sistem yang baru.
Tesis Feldman memerlukan perhatian khusus. Pada awal abad ke 21, dunia termasuk dunia Islam dan Timur Tengah akan mengalami perombakan. Apa peran Islam dalam perubahan tersebut? Pertanyaan ini perlu dijawab.
Pengalaman sejarah kita menunjukkan bahwa keruntuhan institusi politik yang besar dan mapan seperti Uni Soviet dan sistem Kerajaan-Kerajaan masa lalu biasanya tidak bisa dibangkitkan lagi. Kecuali hanya ada dua: Struktur Demokrasi sebagai kelanjutan dari Imperium Romawi, dan Negara Islam. Siapapun yang jeli memonitor situasi dunia Islam dari Maroko ke Indonesia akan melihat bahwa loyalitas masyarakat terhadap Islam tidak berubah meskipun kebobrokan administrasi dan kesewenang-wenangan kekuasaan banyak sekali terjadi di sana. Walaupun faktanya para pimpinan mereka gagal untuk menerapkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya dan tenggelam dalam budaya korupsi dan kepalsuan, mereka masih mampu berkuasa dengan menggunakan tongkat represif. Ulama Islam yang sejati dan Hakim seperti masa sebelumnya sudah tidak ada lagi atau tidak lagi berfungsi untuk menghentikan kesewenang-wenangan penguasanya. Namun demikian, sebagaimana diyakini oleh Feldman, saat ini Islam akan kembali dengan wajah yang berbeda dibandingkan yang dikenal dalam masa sebelumnya.
Feldman berargumentasi bahwa pergerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir menghargai demokrasi. Ketika lobi Yahudi berusaha menampilkannya sebagai organisasi teroris, Hamas sebenarnya menghormati keabsahan demokrasi. Di Turki, partai politik Islam atau partai pro Islam sudah lama berdiri sejak tahun 1969 dalam kancah politik dan keluar masuk panggung kekuasaan melalui pemilu.
Dalam menghadapi tantangan dunia modern, Muslim mampu menahan upaya restorasi radikal dan kuat tanpa meninggalkan akar tradisi mereka. Model ‘Walayat al-Faqih’ (Komite Ahli Hukum Islam) yang dikenalkan di Iran setelah revolusi Islam pada tahun 1979 perlu didiskusikan dan ditinjau secara mendalam. Salah satu prioritas penting dalam dunia Islam adalah pemecahan masalah keseimbangan kekuasaan dan penegakkan hukum. Sejak masa Nabi Muhammad, penguasa Muslim berusaha keras untuk meyakinkan masyarakat tentang keabsahannya dengan melarang semua hal yang dinyatakan sebagai haram, namun di masa sekarang penekanan pada aspek kebebasan menjadi lebih penting. Keberhasilan di aspek ini oleh Dunia Islam tidak saja akan menguntungkan dunia Islam, tapi juga Dunia Barat.
Feldman juga menekankan bahwa di masa lalu, ulama yang menafsirkan Syariah adalah pemegang peran dalam mengontrol lembaga eksekutif; namun, menurutnya, peran ini dihancurkan oleh reformasi yang belum selesai dna fenomena Tanzimat yang ditemukan pada masa Ottoman. Akibatnya, ketiadaan lembaga yang mengontrol penguasa mengakibatkan kesewenang-wenangan yang memonopoli sistem administrasi. Feldman juga menyebutkan bahwa Khilafah Ottoman berutang kepada Dunia Barat sehingga ia berada dalam tekanan untuk melakukan reformasi. Akibatnya, sistem keadilan dan para ulama Islam akhirnya diganti dengan lembaga baru, sehingga runtuhlah kekhalifahan Islam. Kekuatan penjajah imperialis seperti Inggris dan Perancis akhirnya berhasil masuk.
Akan tetapi, Feldman juga melihat bahwa lembaran baru di abad 21 akan tiba dengan kembalinya Islam meskipun kekuatan politiknya sempat runtuh di tahun 1924 dan para ulamanya yang berperan sebagai pengawal Syariah sempat dipinggirkan dan disingkirkan.
Sumber: World Bulletin, 30 Januari 2009